Bangun di Dalam Mimpi

Bangun di Dalam Mimpi

Bangun di Dalam Mimpi
Rabu, 28 Mei 2025



Judul: “Bangun di Dalam Mimpi”

Tadi, saya baru menonton YouTube—video dari Rumah Editor, topiknya tentang lucid dream. Menarik juga, karena sudah lama saya tidak memikirkan soal mimpi. Video itu menjelaskan bahwa lucid dream adalah kondisi ketika kita sadar bahwa kita sedang bermimpi, dan karena sadar, kita bisa mengendalikan isi mimpinya. Seperti menjadi sutradara di tengah panggung bawah sadar.

Tiba-tiba saya teringat satu pengalaman yang pernah saya alami, entah beberapa tahun lalu.

Waktu itu saya sedang tidur, dan tahu-tahu saya berada di sebuah dunia kartun. Warna-warni cerah, langit seperti digambar tangan, awan-awan bundar yang bisa dipindahkan, dan saya... tahu bahwa saya sedang bermimpi. Rasanya seperti sedang bermain di dunia yang saya ciptakan sendiri, dan untuk sesaat saya benar-benar merasa bebas.

Lalu, di dalam mimpi itu, saya memutuskan untuk membuka mata.

Ketika saya membuka mata, dunia itu menghilang. Tapi anehnya, yang saya lihat hanya gelap. Sekilas saya sempat merasa bingung—apakah saya sudah bangun? Tapi saya langsung sadar: ini hanya gelap karena kamar saya memang selalu mati lampu di malam hari. Saya tidak bermimpi, tapi juga belum sepenuhnya bangun. Lalu saya pejamkan mata lagi.

Dan begitu saya memejamkan mata, saya langsung kembali ke dunia kartun tadi. Seolah-olah ada pintu yang terbuka dan bisa saya tutup-sambung sesuka hati.

Saya masih ingat perasaan ringan itu. Mimpi yang seperti taman bermain. Imajinasi tanpa beban.

Tapi sekarang, rasanya sudah lama sekali sejak saya mengalami mimpi seperti itu.

Beberapa tahun terakhir, kalaupun saya mengingat mimpi saya, isinya sering kali terasa lebih... nyata. Bukan nyata dalam bentuk visual, tapi nyata dalam rasa. Kadang saya mimpi sedang mencari sesuatu yang hilang, kadang merasa dikejar waktu, kadang terjebak dalam situasi yang membingungkan dan tidak selesai-selesai. Mimpi yang penuh ketegangan kecil, seperti sedang memecahkan sesuatu, tapi tidak pernah benar-benar tuntas.

Saya bangun dengan perasaan seperti baru saja melewati sesuatu yang melelahkan. Tidak selalu buruk, tapi jelas bukan mimpi yang menyenangkan.

Saya sempat bertanya-tanya, apakah memang begitu ya? Seiring bertambahnya usia, mimpi ikut berubah. Dulu isinya petualangan dan keajaiban, sekarang seperti cermin dari kehidupan sehari-hari—penuh teka-teki, pertanyaan, dan perasaan yang belum sempat diurai.

Mungkin ini wajar. Mungkin ini bagian dari tumbuh. Saat hidup mulai terasa lebih kompleks, bahkan mimpi pun ikut menyesuaikan. Alam bawah sadar kita seperti tahu: kita tak lagi sekadar butuh pelarian, tapi ruang untuk mengurai, menata, dan memahami.

Tapi tetap, saya rindu.
Bukan semata pada dunia kartun itu, tapi pada rasa ringannya—perasaan bisa masuk ke ruang yang tak terikat logika, di mana segalanya mungkin dan tak ada yang perlu dipertanyakan.
Rindu pada masa ketika mimpi terasa seperti tempat bermain, bukan tempat merenung.

Lucid dream mungkin masih bisa terjadi, tapi saya rasa, sekarang saya lebih sering lucid... justru saat bangun. Saat menyadari bahwa hari ini nyata, waktu terus berjalan, dan saya ada di dalamnya—sadar sepenuhnya.

Dan mungkin, itu juga semacam mimpi yang bisa dikendalikan. Hanya saja, panggungnya lebih besar. Lebih rumit. Lebih benar-benar hidup.


Mungkin, semakin bertambah usia, kita memang tidak lagi mencari mimpi yang bisa dikendalikan. Kita justru lebih butuh kejelasan saat terjaga.

Lucid dream terasa magis karena memberi kendali di tengah ketidaksadaran. Tapi di dunia nyata, kendali itu datang dengan perlahan. Lewat keputusan-keputusan kecil, lewat keberanian untuk tetap melangkah meski arah belum jelas, lewat keberanian untuk berhenti saat lelah, dan jujur mengakui kalau tidak semua harus diselesaikan sekaligus.

Di usia saya sekarang, saya mulai paham bahwa yang dulu saya kejar dari mimpi bukan hanya keajaiban, tapi ruang. Ruang untuk merasa bebas, untuk tidak terbebani ekspektasi, untuk hanya... ada. Dan ternyata, hal-hal itu tidak hanya hidup di dalam tidur. Ia bisa dihadirkan dalam kesadaran penuh—dalam cara saya menjalani hari, dalam cara saya memaknai ulang yang sederhana.

Saya tidak harus selalu bisa mengendalikan semuanya—baik dalam mimpi maupun kenyataan. Tapi saya bisa belajar untuk sadar: kapan harus melepaskan, kapan cukup, dan kapan harus tersenyum meski belum semuanya masuk akal.

Mungkin itu bentuk lucid yang paling nyata sekarang ini:
bukan sadar di tengah mimpi, tapi tetap sadar siapa diri saya—di tengah segala yang sedang saya jalani.

Dan untuk diri saya sendiri di usia ini, saya ingin bilang:


Kamu tidak harus tahu semua jawaban hari ini. Tapi kamu sudah cukup tahu untuk terus hidup dengan perlahan, dengan niat yang jernih, dan dengan rasa syukur yang tidak perlu keras-keras.


Hari akan terus berjalan. Usia akan terus bertambah. Tapi selama saya masih bisa berhenti sejenak, menengok ke dalam, dan tersenyum walau tanpa alasan...
mungkin itu sudah lebih dari cukup.

kalau kamu merasa terbantu dengan artikel ini, yuk traktir penulis, agar lebih semangat sharing berbagai hal di blog ini ^_^
via link berikut ya :
Trakteer Saya
Kamu juga bisa request custom aplikasi dan otomasi data dengan memberikan rinci fitur apa yang kamu inginkan dengan mulai harga Rp. 50.000,- segera klik link ini ya :
Bangun di Dalam Mimpi
4/ 5
Oleh

yuu.. kita budayakan berkomentar.. bersilaturahmi itu memperpanjang umur... ^_^